Samuel P. Huntington dalam buku yang
diterbitkan tahun 1957, The Soldier and The State dapat dianggap sebagai karya perintis dalam
membahas hubungan antara pihak militer dengan sipil dalam konteks pengalaman
sistem politik Amerika Serikat pada khususnya, dan demokrasi liberal di Barat
pada umumnya. Inti pandangan Huntington sendiri mengelompokkan tentara
dalam kerangka hubungan sipil-militer menjadi dua yaitu, tentara
pretorian dantentara profesional. Tentara pretorian atau tentara jenis penakluk (warior)
dalam hal ini mewakili kelompok militer yang berkuasa dan menjalankan
pemerintahan dan menentukan keputusan-keputusan politik. Paham ini tumbuh
dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika profesi perwira sebagai pengelola
kekerasan (manager of violence) masih merupakan monopoli para
kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis 1789, menandai perubahan dari
“tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara karena panggilan suci,
misalnya mengabdi negara”, hal inilah yang kemudian dikemukakan oleh Huntington
sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional. Sebenarnya
pandangan ini tidak saja dinyatakan oleh Huntington, namun jauh sebelumnya
seorang ilmuwan Perancis, de Tocqueville telah berbicara tentang “profesi
militer” dan
“kehormatan
militer”.
Huntington juga memberikan elaborasi tentang tumbuhnya profesionalisme
militer yang menurutnya memiliki tiga ciri pokok, yaitu :
Ciri pertama yaitu
mensyaratkan suatu keahlian, sehingga profesi militer menjadi kian spesifik
serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan.
Ciri kedua, seorang
militer memiliki tanggung jawab sosial yang khusus, artinya seorang perwira
militer disamping memiliki nilai-nilai moral yang tinggi dan terpisah dari
insentif ekonomi juga mempunyai tugas pokok kepada negara. Berbeda dengan
masa sebelumnya, dimana seorang perwira seakan-akan menjadi milik pribadi
komandan dan harus setia kepadanya sebagai suatu bentuk disiplin mati.
Pada masa profesionalisme, seorang perwira berhak untuk mengoreksi atasannya,
jika si atasan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan
nasional.
Ciri ketiga adalah
karakter korporasi (corporate character) para
perwira yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.
Ketiga ciri militer
profesional di atas pada akhirnya melahirkan apa yang disebut oleh Huntington “the military mind” yang menjadi dasar bagi
hubungan militer dan negara. Hal ini melahirkan suatu pengakuan akan
“Negara Kebangsaan” (nation state)sebagai suatu bentuk tertinggi
organisasi politik. Sehingga inti dari military mind adalah suatu
ideologi yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi
pemerintahan sipil. Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling
tinggi, kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil. Jadi menurut
Huntington, kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya
menyalahi etik militer profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap
intervensi militer dalam politik sebagai tanda adanyapolitical decay (pembusukan politik), dan dianggap sebagai suatu kemunduran ke arah “masyarakat
pretorian”.
Beberapa ahli
mengkritik pandangan Huntington tersebut dengan mengetengahkan konsep “the new professionalism of internal security and nation development” sebagai bentuk peranan baru
tentara pada negara-negara yang baru merdeka. Termasuk dalam kelompok
penentang Huntington adalah John J. Johnson, The Role of the
Military in Underdeveloped countries yang mewakili beberapa ilmuwan barat yang bukan saja simpatik
terhadap keterlibatan politik kaum militer, tapi bahkan menganggapnya sebagai
hal yang paling wajar dan paling baik untuk negara Dunia Ketiga karena tentara
dianggap sebagai Agen Modernisasi, suatu golongan elit yang paling modern, baik
dalam orientasi nilai maupun organisasi. Proponen intelektual dari
kelompok ini adalah Edward Shills dan Lucian Pye sedangkan ilmuwan senior
lainnya, Morris Janowitz, lebih kritis dan kondisonal dari kedua rekannya itu. Sebagai “the modernizing elite”, kaum militer juga dinilai melihat jauh ke depan, dan adalah
dalam kepentingan korporasinya untuk mendorong modernisasi di
negaranya. Komitmen perwira dalam pembangunan ekonomi juga
dihubungkan dengan latar belakang sosial para perwira yang sebagian besar berasal
dari kalangan menengah, sehingga kadangkala kaum militer menjadi satu-satunya
alternatif terhadap sistem politik demokrasi parlementer yang tidak stabil dan
tidak bisa diandalkan untuk menjadi motor pembangunan ekonomi.
Huntington menjawab hal tersebut dalam bukunya yang diterbitkan
tahun 1968, Political Order in Changing Societies. Buku karangan Huntington dalam banyak hal memang menjelaskan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teoritis, namun kurang dapat menjelaskan
kritik-kritik empiris dan komparatif yang ditujukan kepadanya. Kemudian
Amos Perlmutter, seorang yang dapat disebut penganut teori Huntington atau Huntingtonian, melengkapi kerangka teoritis Huntington dengan studi kasus
maupun perbandingan empiris dalam menjawab kritikan yang bersifat empiris atas
teori Huntington. Dalam beberapa bukunya Perlmutter bahkan mempertajam
teori-teori Huntington seraya menambahkan tipologi ketiga dari militer yaitutentara
profesional revolusioner. Jenis tentara ini
dianggapnya berbeda dengan tentara profesional klasik, seperti di Barat pada
umumnya. “Tentara Revolusioner” memiliki suatu perbedaan pokok dengan tentara
profesional klasik dan tentara Pretorian yakni tidak adanya prinsip ekslusif
dalam rekruitmen dan promosi perwira militernya.
Dalam menjawab kritikan
mengenai sifat korporasi militer untuk mendorong modernisasi di negaranya,
serta keterkaitan dengan latar belakang bahwa sebagian perwira militer berasal
dari golongan menengah, Huntington maupun oleh Perlmutter memang kurang
membahas masalah tersebut dengan baik, karena mereka menganggap bahwa variabel
sosial ekonomi sebagai hal yang terpisah dari variabel politik
institusional. Sehingga dengan sengaja keduanya tidak membahas masalah
pembangunan ekonomi ini. Tetapi Nordlinger melihat bahwa sifat korporasi
militer justru mendorongnya untuk melakukan intervensi politik, yang bisa saja
berlangsung secara bertahap, sehingga suatu tentara pretorian dapat berubah
menjadi “the ruler army”dalam waktu beberapa tahun. Mengenai
korelasi positif antara kaum militer dengan reformasi golongan menengah,
Nordlinger tidak membenarkan seluruhnya pandangan ini, menurutnya justru
kepentingan dan identitas kaum militer dengan golongan menengah membuatnya
menjadi kelompok yang konservatif, sehingga untuk melihat korelasi yang tepat,
harus dihubungkan dengan ukuran dan besar kelompok menengah di suatu
negara. Jika kaum militer yang berasal dari kalangan menengahnya besar,
maka kaum militer bisa saja menjadi agen modernisasi, tetapi sebaliknya bila
kaum militer dari kaum menengah sangat kecil, maka kaum militer akan menjadi
sangat konservatif. Kaum militer di negara demikian, bisa saja menentang
kelompok ologarki kalangan atas (upper class), tapi pada saat yang bersamaan membela kepentingan golongan
menengahnya terhadap ancaman dari kalangan bawah (lower class). Alasan lainnya yang mencegah kaum
militer menjadi reformis adalah tentang sifat-sifat korporasi militer, sehingga
kelompok militer adalah suatu kelompok kepentingan yang paling kuat di
negara-negara Dunia Ketiga. Demikian pula dengan nilai-nilai militer yang
menekankan ketertiban dan stabilisasi, bertentangan dengan semangat reformasi
yang memerlukan perubahan yang berkesinambungan. Huntington menyebutkan beberapa faktor yang menentukan
peradaban di dunia. Perbedaan yang diciptakan oleh sejarah dan proses yang
panjang menyebabkan peradaban terbagi-bagi berdasarkan bahasa, kultur, tradisi,
dan yang paling penting agama. Faktor
kedua ialah interaksi antarperadaban makin intensif yang menciptakan kesadaran
atas peradaban asal dan kesadaran perbedaan antarperadaban satu dan lainnya.
Faktor ketiga ialah modernisasi ekonomi dan perubahan sosial terjadi di seluruh
dunia. Dua hal ini mencerabut individu dari identitas lokal masing-masing.
Sementara identitas ini dicabut dan modernisasi menyebabkan esensi negara
berkurang, terdapat kekosongan identitas. Kekosongan ini kemudian diisi oleh
gerakan untuk mengembalikan individu pada kesadaran paling fundamental.
Fundamental paling dasar yang mengikat individu ialah agama. Oleh karena itu,
makin banyak gerakan serupa di banyak negara yang hendak menciptakan identitas
persatuan antar individu. Faktor
keempat, kelima, dan keenam masing-masing ialah reaksi terhadap supremasi
peradaban Barat dalam politik internasional, karakter kultural tidak bisa
dirubah atau immutable, dan regionalisme ekonomi yang makin
meningkat.
0 comments:
Posting Komentar