Minggu, 24 Agustus 2014

Samuel P. Huntington dalam buku yang diterbitkan tahun 1957, The Soldier and The State dapat dianggap sebagai karya perintis dalam membahas hubungan antara pihak militer dengan sipil dalam konteks pengalaman sistem politik Amerika Serikat pada khususnya, dan demokrasi liberal di Barat pada umumnya.  Inti pandangan Huntington sendiri mengelompokkan tentara dalam kerangka hubungan sipil-militer menjadi dua yaitu, tentara pretorian dantentara profesional.  Tentara pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok militer yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan dan menentukan keputusan-keputusan politik.  Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence) masih merupakan monopoli para kerabat istana.  Munculnya revolusi Perancis 1789, menandai perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara karena panggilan suci, misalnya mengabdi negara”, hal inilah yang kemudian dikemukakan oleh Huntington sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional.  Sebenarnya pandangan ini tidak saja dinyatakan oleh Huntington, namun jauh sebelumnya seorang ilmuwan Perancis, de Tocqueville telah berbicara tentang “profesi militer” dan           “kehormatan militer”.

Huntington juga memberikan elaborasi tentang tumbuhnya profesionalisme militer yang menurutnya memiliki tiga ciri pokok, yaitu :
Ciri pertama yaitu mensyaratkan suatu keahlian, sehingga profesi militer menjadi kian spesifik serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan.
Ciri kedua, seorang militer memiliki tanggung jawab sosial yang khusus, artinya seorang perwira militer disamping memiliki nilai-nilai moral yang tinggi dan terpisah dari insentif ekonomi juga mempunyai tugas pokok kepada negara.  Berbeda dengan masa sebelumnya, dimana seorang perwira seakan-akan menjadi milik pribadi komandan dan harus setia kepadanya sebagai suatu bentuk disiplin mati.  Pada masa profesionalisme, seorang perwira berhak untuk mengoreksi atasannya, jika si atasan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. 
Ciri ketiga adalah karakter korporasi (corporate character) para perwira yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.

Ketiga ciri militer profesional di atas pada akhirnya melahirkan apa yang disebut oleh Huntington “the military mind” yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara.  Hal ini melahirkan suatu pengakuan akan “Negara Kebangsaan” (nation state)sebagai suatu bentuk tertinggi organisasi politik.  Sehingga inti dari military mind adalah suatu ideologi yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil.  Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi, kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil.  Jadi menurut Huntington, kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etik militer profesionalnya.  Bahkan Huntington menganggap intervensi militer dalam politik sebagai tanda adanyapolitical decay (pembusukan politik), dan dianggap sebagai suatu kemunduran ke arah “masyarakat pretorian”. 

Beberapa ahli mengkritik pandangan Huntington tersebut dengan mengetengahkan konsep “the new professionalism of internal security and nation development” sebagai bentuk peranan baru tentara pada negara-negara yang baru merdeka.  Termasuk dalam kelompok penentang Huntington adalah John J. Johnson, The Role of the Military in Underdeveloped countries yang mewakili beberapa ilmuwan barat yang bukan saja simpatik terhadap keterlibatan politik kaum militer, tapi bahkan menganggapnya sebagai hal yang paling wajar dan paling baik untuk negara Dunia Ketiga karena tentara dianggap sebagai Agen Modernisasi, suatu golongan elit yang paling modern, baik dalam orientasi nilai maupun organisasi.  Proponen intelektual dari kelompok ini adalah Edward Shills dan Lucian Pye sedangkan ilmuwan senior lainnya, Morris Janowitz, lebih kritis dan kondisonal dari kedua rekannya itu.  Sebagai  “the modernizing elite”, kaum militer juga dinilai melihat jauh ke depan, dan adalah dalam kepentingan korporasinya untuk mendorong modernisasi di negaranya.   Komitmen perwira dalam pembangunan ekonomi juga dihubungkan dengan latar belakang sosial para perwira yang sebagian besar berasal dari kalangan menengah, sehingga kadangkala kaum militer menjadi satu-satunya alternatif terhadap sistem politik demokrasi parlementer yang tidak stabil dan tidak bisa diandalkan untuk menjadi motor pembangunan ekonomi.

Huntington menjawab hal tersebut   dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1968, Political Order in Changing Societies. Buku karangan Huntington dalam banyak hal memang menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teoritis, namun kurang dapat menjelaskan kritik-kritik empiris dan komparatif yang ditujukan kepadanya.  Kemudian Amos Perlmutter, seorang yang dapat disebut penganut teori Huntington atau Huntingtonian, melengkapi kerangka teoritis Huntington dengan studi kasus maupun perbandingan empiris dalam menjawab kritikan yang bersifat empiris atas teori Huntington.  Dalam beberapa bukunya Perlmutter bahkan mempertajam teori-teori Huntington seraya menambahkan tipologi ketiga dari militer yaitutentara profesional revolusioner.   Jenis tentara ini dianggapnya berbeda dengan tentara profesional klasik, seperti di Barat pada umumnya. “Tentara Revolusioner” memiliki suatu perbedaan pokok dengan tentara profesional klasik dan tentara Pretorian yakni tidak adanya prinsip ekslusif dalam rekruitmen dan promosi perwira militernya

Dalam menjawab kritikan mengenai sifat korporasi militer untuk mendorong modernisasi di negaranya, serta keterkaitan dengan latar belakang bahwa sebagian perwira militer berasal dari golongan menengah, Huntington maupun oleh Perlmutter memang kurang membahas masalah tersebut dengan baik, karena mereka menganggap bahwa variabel sosial ekonomi sebagai hal yang terpisah dari variabel politik institusional.  Sehingga dengan sengaja keduanya tidak membahas masalah pembangunan ekonomi ini.  Tetapi Nordlinger melihat bahwa sifat korporasi militer justru mendorongnya untuk melakukan intervensi politik, yang bisa saja berlangsung secara bertahap, sehingga suatu tentara pretorian dapat berubah menjadi “the ruler army”dalam waktu beberapa tahun.  Mengenai korelasi positif antara kaum militer dengan reformasi golongan menengah, Nordlinger tidak membenarkan seluruhnya pandangan ini, menurutnya justru kepentingan dan identitas kaum militer dengan golongan menengah membuatnya menjadi kelompok yang konservatif, sehingga untuk melihat korelasi yang tepat, harus dihubungkan dengan ukuran dan besar kelompok menengah di suatu negara.  Jika kaum militer yang berasal dari kalangan menengahnya besar, maka kaum militer bisa saja menjadi agen modernisasi, tetapi sebaliknya bila kaum militer dari kaum menengah sangat kecil, maka kaum militer akan menjadi sangat konservatif.  Kaum militer di negara demikian, bisa saja menentang kelompok ologarki kalangan atas (upper class), tapi pada saat yang bersamaan membela kepentingan golongan menengahnya terhadap ancaman dari kalangan bawah (lower class).  Alasan lainnya yang mencegah kaum militer menjadi reformis adalah tentang sifat-sifat korporasi militer, sehingga kelompok militer adalah suatu kelompok kepentingan yang paling kuat di negara-negara Dunia Ketiga.  Demikian pula dengan nilai-nilai militer yang menekankan ketertiban dan stabilisasi, bertentangan dengan semangat reformasi yang memerlukan perubahan yang berkesinambungan. Huntington menyebutkan beberapa faktor yang menentukan peradaban di dunia. Perbedaan yang diciptakan oleh sejarah dan proses yang panjang menyebabkan peradaban terbagi-bagi berdasarkan bahasa, kultur, tradisi, dan yang paling penting agama. Faktor kedua ialah interaksi antarperadaban makin intensif yang menciptakan kesadaran atas peradaban asal dan kesadaran perbedaan antarperadaban satu dan lainnya. Faktor ketiga ialah modernisasi ekonomi dan perubahan sosial terjadi di seluruh dunia. Dua hal ini mencerabut individu dari identitas lokal masing-masing. Sementara identitas ini dicabut dan modernisasi menyebabkan esensi negara berkurang, terdapat kekosongan identitas. Kekosongan ini kemudian diisi oleh gerakan untuk mengembalikan individu pada kesadaran paling fundamental. Fundamental paling dasar yang mengikat individu ialah agama. Oleh karena itu, makin banyak gerakan serupa di banyak negara yang hendak menciptakan identitas persatuan antar individu. Faktor keempat, kelima, dan keenam masing-masing ialah reaksi terhadap supremasi peradaban Barat dalam politik internasional, karakter kultural tidak bisa dirubah atau immutable, dan regionalisme ekonomi yang makin meningkat.



0 comments:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!