Para realis memandang negara sebagai unitary dan rasional. Realis
mengganggap bahwa negara merupakan kesatuan dan dan selalu bertindak
secara rasional serta prudence atu berhati-hati dalam
bertindak. Aspek terpentingnya merupakan bagaimana suatu negara yang
dianggap sebagai aktor paling penting bagi para realis, mempertahankan
keberadaannya (survive). Karena, negara akan melakukan apa saja
dan akan mempertahankan mati-matian demi mendapatkan rasa aman bagi
negara itu sendiri. Disamping itu, negara juga tidak memikirkan keadaan
negara lain dan hanya mementingkan negaranya sendiri, inilah kondisi
yang dinamakan struggle of power.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa negara merupakan
aktor terpenting dan kekuasaan tertinggi hanya dikuasai oleh negara,
maka kondisi tersebut merupakan berlakunya suatu sistem anarki. Selain
itu, keberadaan prinsip moral universal tidak dianggap sebagai variabel
signifikan didalam sistem politik internasional. Menurut pandangan
Wardhani (2013) terdapat suatu asumsi yang harus diperhatikan dari paham
ini yaitu ‘ hubunngan antar negara lebih penting daripada politik
domestic atau politik dalam negeri’. Walaupun negara dianggap sebagai state centric,
namun ada kalanya ketika kondisi dalam negeri tidak dianggap penting
dan tidak dianggap menguntungkan bagi sistem internasional.
Menurut Morgenthau ada enam prinsip realisme ,
(1)
realisme politik menganggap bahwa politik, seperti masyarakat umunya,
dikendalikan oleh hukum-hukum objektif yang berakar pada hakikat
manusia,
(2) politik internasional merupakan wadah suatu negara dalam
memenuhi interest-nya sebagai tujuan mendapatkan power,
(3) bentuk dan sifat kekuasaan negara akan bermacam-macam ( kontekstual
) tetapi kepentingan nasional akan tetap sama,
(4) prinsip moral
universal tidak menuntut sikap negara,
(5) tidak ada prinsip moral
universal,
(6) secara intelektual politik itu otonom.
Tindakan yang diambil suatu negara didasarkan atas
kepentingannya bukan berdasarkan prinsip moral, Menurut pandangan Dugis
(2013). Contohnya saja seperti Korea Utara yang tetap mengembangkan
nuklir demi keamanan negara yang merupakan refleksi dari kepentingan
negara tersebut. Konsep bahwa politik itu otonom karena menurut
Morgenthau (2010,hlm : 5), ‘politik sebagai lingkungan tindakan dan
pengertian yang berdiri sendiri atau terpisah dari lingkungan lainnya
seperti ilmu ekonomi (dipahami dalam arti kepentingan yang didefinisikan
sebagai kekayaan , etika, estetika, atau agama’.
GAMBARAN TEORI REALISME
Statism sama halnya dengan state centric, maka letak statism digambarkan berada diatas segitiga karena dianggap sebagai aktor utama. Kemudian survive seperti
yang telah dijelaskan, negara akan membela mati-matian demi mendapatkan
keamanan negaranya agar tetap bertahan. Oleh karena kemanan merupakan
sebuah isu utama bagi suatu negara, maka hal tersebut digunakan sebagai
‘alat’ dalam meningkatkan power negara ( power gaining ). Power itu sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu tangible power dan intangible power. Tangible power
digambarkan sebagai kekuatan fisik seperti halnya negara dengan SDA
yang berlimpah, lokasi negara yang strategis, kaya akan sumber minyak
dan gas, dll. Selain itu yang dimaksud dengan intangible power
adalah kekuatan diluar fisik atau kasat mata seperti kekuatan diplomasi
negara, kualitas pemerintahan suatu negara yang kuat, dll. Namun,
besarnya power yang dimiliki belum tentu dapat dikatakan bahwa
negara tersebut merupakan negara yang kuat. Sebaliknya, bila terdapat
semisal negara A mampu mempengaruhi negara B untuk memenuhi suatu
kepentingan negara A maka negara A dapat dikatakan sebagai negara yang
kuat.
Lanjut dengan self help dari gambaran realisme diatas. Pada dasarnya negara menolong dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas survive-nya
negara tersebut serta bebas mendefinisikan danmemenuhi kepentingannya.
Karena negara berhak menentukan segala sesuatunya sendiri sehingga
merupakan refleksi dari sistem anarki. Akibat akan hal ini dibutuhkan
adanya ‘balance of power’ (Morgenthau, 2010). Dikatan balance of power
karena diharuskan adanya keseimbangan kekuatan suatu negara saat
menghadapi kekuatan negara lainnya, sehingga tidak ada negara yang
begitu kuat. Kecenderungan akan ketidakseimbangan kekuatan berpotensi
mengarah pada terjadinya perang imbas negara yang begitu kuat tadi akan
mencoba untuk memperoleh lebih banyak kekuasan dari negara yang lemah
karena menjadi sasaran empuk.
Terdapat suatu kondisi dimana suatu negara membutuh
security namun dalam pencapaiannya harus menggunakan jalan perang. Maka
disinilah letak keberadaan adanya kondisi ‘dilema keamanan’ dalam
politik dunia. Bagi Hobbes (1946 dikutip dalam Jackson & Sorensen,
2009, hlm : 96) “ ‘keadaan alami’ merupakan lingkungan manusia yang
sangat tidak bersahabat dimana terdapat ‘keadaan perang’ setiap manusia
terhadap setiap manusia”. Wardhani (2013) “Si Vis Pacem, Para Bellum yang artinya jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi peperangan”.
Dapat disimpulkan dari topik ini, realis yakin bahwa negara memiliki kemampuan dalam mencapai national interest dengan cara apapun serta security yang dalam pencapaiannya tidak lain melewati jalan perang sehingga menimbulkan security dilemma.
Lalu, teori realisme ini sangat memandang pesimis terhadap sifat dasar
manusia yang selalu cemas akan keselamatan dirinya dalam hubungan
persaingannya dengan yang lain dan sifat egoisnya akan kekuasaan. Selain
itu, kaum realis sangat menekankan pentingnya perimbangan kekuatan,
karena paham ini menegakkan nilai-nilai dasar perdamaian dan keamanan.
REFERENSI
- Dugis, Vinsensio. 2013. Realisme. Materi disampaikan pada kuliah Teori Hubungan Internasional. Departemen Hubungan Internasional. Universitas Airlangga. 7 Maret 2013.
- Jackson, R., &. Sorensen, G., 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Morgenthau, Hans J., 2010. Politik Antar Bangsa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar